Wednesday 13 March 2013

Kenangan Terakhir (part 2) End

Konnichiwa... Mina-san....
Gomen ne baru muncul lagi sekarang setelah sekian lama menghilang...
He... he...
Met ngebaca yah ^^


          Aku tidak tau berapa lama aku pingsan, ketika tersadar aku berada dikamar yang dindingnya berwarna putih bersih, ini bukan kamarku, karena dinding kamarku berwarna pink lembut dan bergambar motif bunga sakura, karena aku sangat menyukai bunga sakura, dan suatu saat aku berharap bisa melihat bunga itu secara langsung. Tapi harapan itu tidak mungkin terjadi dengan keadaanku sekarang. Ruang disekelilingku berwarna putih pucat dan ini membuat hatiku tidak nyaman, aku sangat ketakutan
“aduh... aku dimana?”ujarku pada diriku sendiri. Aku menyentuh hidungku, ternyata terpasang selang oksigen, aku menoleh kesampingku dan melihat cairan infus menetes sedikit demi sedikit kemudian mengalir ketubuhku melalui jarum infus yang terpasang di nadi tangan kiri ku, aku menoleh ke monitor yang ada disamping kepalaku, ternyata itu adalah monitor dan alat yang digunakan untuk mendeteksi denyut jantungku, ternyata aku dirumah sakit.
            Aku melihat pintu kamar dimana aku dirawat terbuka dengan perlahan, dan tidak lama kemudian seorang dokter berusia 40-an  dan berwajah tampan masuk keruang perawatanku, disusul seorang suster berwajah manis yang aku taksir berusia 25-an langsung mendekati dan memeriksa keadaanku begitu menyadari aku sudah sadar.
“Mai, gimana keadaanmu?” om Hendri mendekati dan menyapaku, sambil memeriksa keadaanku, om Hendri mengajakku berbicara dan mengajakku untuk bercerita banyak tentang semua hal yang aku lakukan belakangan ini, dengan tersenyum malu dan agak tersendat-sendat aku bercerita tentang semua yang aku lakukan belakangan ini, termasuk tentang kencanku hari ini bersama kak Arie. ‘Tapi ngomong-ngomong tentang kencan, dimana boneka pemberian kak Arie tadi ya... kenapa gak ada? Ah... mungkin kak Arie yang menyimpannya’. Aku berujar dalam hatiku. Om Hendri tersenyum mendengar ceritaku, aku jadi merasa tenang dan sesaat tidak memikirkan rasa sakit yang aku rasakan.
            Om Hendri adalah adik laki-laki mama, dan sekaligus menjadi dokter pribadi keluarga kami sejak mama melahirkan aku, karena diantara keluarga besar kami, hanya om Hendri yang menjadi dokter, selain itu juga sejak aku dilahirkan, kesehatanku sering terganggu, sehingga memerlukan pengawasan dan penanganan yang intensif dari seorang dokter.
“om, tolong panggilkan mama, ada yang mau Mai sampein sama mama, Mai udah gak kuat lagi om, kayanya waktu Mai udah gak banyak lagi om, Mai mau pamit......” ucapku karena aku merasa tubuhku kembali terasa sakit dan nafasku terasa agak berat.
“ok, tunggu sebentar ya.... om perlu ngomong pelan-pelan dulu sama orang tua Mai, biar mereka gak panik,” ujar om Hendri sambil tersenyum dan bergegas keluar ruangan.
            Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan diluar, ketika terdengar suara ribut-ribut dan dengan tergesa-gesa mama memasuki ruang perawatanku.
“Mai... gimana keadaanmu sayang?” dengan wajah panik mama menghampiri dan memelukku.
“Mama, Mai gak kenapa-kenapa kok ma, Mai cuma pusing dikit aja kok,” ucapku mencoba menenangkan mama, melihat keadaanku tangis mama langsung pecah.
“Mai... Mai harus kuat ya... mama janji, mama akan nyariin pengobatan yang bisa nyembuhin penyakit Mai... berapapun dan gimanapun caranya, mama akan usahain buat kesembuhan Mai, dan mama juga janji, mama akan bawa Mai liat bunga sakura secara langsung, tapi Mai harus kuat ya sayang...” sambil berkata seperti itu air mata mama malah menetes lebih deras lagi dari sebelumnya.
            Sungguh aku tidak sanggup melihat air mata dari mama ku tercinta ini, aku tau mama sangat ingin aku sembuh, tapi aku merasa waktuku sudah gak lama lagi.
“ma, tolong panggilkan papa, Mai mau pamit,” ucapku. Dan ucapanku ini cukup membuat mama tersentak.
“apa.... Mai, kamu gak boleh bilang kaya gitu sayang... Mai harus kuat dan harus sembuh... Mai jangan menyerah,” mama menyemangati aku agar aku jangan menyerah. Tapi aku harus bagaimana, aku merasa waktuku tidak lama lagi.
“Ma, Mai mohon....” pintaku dengan suara yang lemah.
“baiklah Mai, tunggu sebentar sayang ya, mama panggilkan papamu,” ucap mama sambil mengusap air mata yang tak henti-hentinya mengalir di kedua pipinya.
            Tidak lama kemudian, mama keluar untuk memanggil papa masuk karena aku ingin bertemu papa. Papa masuk di ikuti mama. Kedatangan mereka berdua kusambut dengan senyuman yang lemah dari bibirku.
“papa... mama.... maafin Mai ya, kalo selama Mai jadi anak papa dan mama, Mai selalu nyusahin, dan suka bandel, maafin Mai ma.... pa..... tolong, relakan Mai ma.... pa, doakan Mai semoga Mai diterima di alam sana, dan satu lagi pa.... ma, tolong anggap kak Arie sebagai pengganti Mai, anggap dia seperti Mai, dan sayangilah dia seperti papa dan mama menyayangi Mai, ya.....” pintaku dengan suara yang sangat lemah.
“sayang, sudah lah, jangan ngomong yang tidak-tidak, Mai pasti sembuh, yah....” ujar papa dengan menahan tangis, sedangkan mama sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, mama hanya menangis sambil memeluk dan menciumiku.
“pa, ma, jangan bohong, Mai udah tau, Mai gak bisa sembuh lagi, dan Mai juga tau kalo waktu Mai untuk hidup udah gak ada lagi, untuk itu tolong penuhi permintan terakhir Mai,” ucapku dengan nafas tersendat.
“oya ma, tolong berikan surat ini kepada kak Arie, tapi setelah pemakaman Mai selesai, yah?” aku menyerahkan sepucuk surat kepada mama yang udah dari kemarin aku persiapkan, dengan tangan gemetar mama menerima surat itu.
“iya sayang, nanti mama sampaikan,”ucap mama dengan berlinang air mata.
Aku tersenyum dan meminta mama untuk memanggil orangtua kak Arie, sebelum mereka keluar, dengan bergantian mereka memeluk dan menciumku dengan sayang, lalu bergegas keluar.
            Kedua orangtua kak Arie masuk dan menghampiriku yang sedang terbaring lemah di tempat tidur, aku menyambutnya dengan senyum lemah tetapi kupaksakan, keadaan itu membuat ibu menangis sedih.
“ayah, ibu, tolong maafkan Mai, jika selama ini Mai selalu mengganggu kehidupan keluarga ayah dan ibu,” hanya itu kata-kata yang bisa kuucapkan, karena tiba-tiba aku merasa sesak. Melihat itu ayah langsung berniat untuk memanggil dokter, tetapi langsung kucegah.
“ayah, Mai mohon, tolong jangan panggil dokter, Mai udah tau ini akan terjadi, ayah, ibu, Mai mohon, tolong maafkan semua kesalahan Mai,” dengan susah payah aku mengatur nafasku kembali agar mudah mengucapkan kata-kata terakhirku.
“Mai, seharusnya Mai jangan meminta maaf seperti itu, karena sejak dulu kami sudah memaafkanmu sayang, kami sudah menganggapmu seperti anak kami sendiri, malah kami yang seharusnya meminta maaf, karena tidak bisa ikut menjagamu dengan baik,” ujar ibu sambil mencium keningku.
“terima kasih, ayah, ibu, sekarang Mai udah merasa tenang,” ujarku sambil memaksakan untuk tersenyum manis.
“ibu, tolong panggilkan kakak yah? Mai juga ingin berpamitan dengan kakak” lanjutku kepada mereka berdua yang hanya di jawab anggukan oleh mereka berdua.
Aku melihat ada tetes bening air mata mengalir dari kedua pelupuk mata kedua orangtua kak Arie, sungguh sebenarnya hati ku sangat sedih dan tidak tega melihat orangtua kak Arie yang sangat aku sayangi menangis, tapi aku tidak dapat melakukan apa-apa selain memandangi mereka berdua berjalan menuju pintu keluar dengan senyum yang ku paksakan.
Terasa napas ku semakin sesak dan semakin sulit untuk bernapas, aku memejamkan mata ku untuk mengatur sedikit pernapasan ku hingga terasa agak lega, ketika saat itu terdengar oleh ku langkah kaki yang mendekati pembaringan ku.
“Mai, bagaimana keadaanmu?” suara itu, itu adalah suara kak Arie, laki-laki yang aku cintai.
Aku membuka kedua mata ku dan kudapati kak Arie menghampiri dan menggenggam tanganku, dengan berlinang air mata dia menatapku dengan pandangan yang bercampur aduk.
Dengan memaksakan diri aku mencoba untuk tersenyum.
“yah beginilah kak, rasanya sakit banget....”
Ujar ku dengan nada berat, karena napas ku terasa semakin berat.
“kakak kenapa nangis? Jelek tau gak...!” ujarku mencoba untuk menggoda kak Arie.
“Mai...  gak kok Mai, kakak gak nangis, tapi gak tau nih kenapa air mata kakak bisa keluar sendiri dan gak mau berhenti...” kak Arie mencoba untuk tersenyum, aku tau kak Arie bohong. Sungguh gak masuk akal, mana mungkin air mata bisa keluar sendiri kalo gak ada reaksi dari mata.
            Dengan senyum yang kupaksakan aku menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi kak Arie, kak Arie memegang dan menempelkan tanganku ke pipinya, melihat perlakuannya yang seperti itu, aku sungguh tidak tega.
“kak, maafkan aku, atas semua salah dan kelakuanku yang selama ini aku lakukan, baik yang ku sengaja ataupun tidak... maafkan aku kak.... selama ini aku selalu merepotkanmu.... uhuukk.... hah.. hah....” aduh.. aku mulai kehabisan napas...
“Mai, sudahlah...jangan bicara lagi... aku sudah memafkanmu...” ujar kak Arie dengan wajah panik karena aku terengah-engah sambil terbatuk-batuk kepayahan.
“kakak, aku udah gak ada waktu lagi, jadi tolong jangan hentikan aku untuk bilang kata-kata terakhirku....”ujarku dengan tegas meski tubuh ku terasa sangat kepayahan.
“Mai.....”
“kakak, aku mohon tolong kabulkan satu permintaan terakhir ku....” aku memotong ucapannya karena aku sudah tidak kuat lagi untuk menahan rasa sakit ini.
“Mai sudahlah.... jangan bicara kaya gitu, kamu pasti bisa sembuh.....” aku tau kak Heri berkata seperti itu hanya untuk menghiburku, tapi aku tau itu tidak mungkin lagi.
“kakak, aku mohon, tolong kabulkan...” pintaku dengan memelas.
Dia hanya bisa mengangguk karena tak kuasa menahan gejolak kesedihan di hatinya, itu sangat terlihat jelas dari wajah tampannya.
“apa... apa yang harus aku lakukan untuk mu Mai? Apapun akan aku lakukan untukmu...” dengan berurai air mata akhirnya dia menyanggupi permintaanku.
“kakak.... aku mohon, untuk pertama dan yang terakhirnya, aku ingin kakak mencium dan memelukku, aku mohon kak....”  ujarku dengan air mata yang tak dapat ku tahan lagi.
Perlahan kak Arie mendekatkan bibirnya ke bibirku, dan mengecup bibirku dengan lembut, terasa bibirnya bergetar, dan aku merasakan ada tetes bening yang menetes ke pipiku, ternyata itu adalah air mata kak Arie, setelah itu dia langsung memelukku, pelukan yang hangat dan menenteramkan hatiku.
Aku merasa sangat nyaman dan entah sejak kapan aku tidak merasakan sakit lagi, pelukan kak Arie sangat hangat dan menenangkan, aku jadi ingin tidur, aku merasakan kantuk yang sangat berat, dan lama kelamaan kesadaran ku semakin menghilang, tapi ada satu kata yang ingin ku ucapkan untuk kak Arie dan aku memaksakan diri untuk mengucapkannya.
“kakak, terima kasih....” hanya itu yang dapat aku katakan, karena seterusnya kurasakan sekelilingku menjadi gelap.... gelap.... gelap... dan gelap....
*******
Epilog...
Di batu nisan itu tertulis nama dengan ukiran yang sangat indah, Mairinka binti Hardi Irawan, wafat 6 Juni 2012, lahir 17 Oktober 1992.
Gundukan tanah itu masih terlihat basah, di atasnya terlihat taburan bunga mawar putih yang hampir memenuhi seluruh gundukan tanah itu, mawar putih adalah bunga favoritnya Mai. Gadis yang bersemayam di dalam gundukan tanah itu.
Satu persatu pelayat pergi meninggalkan tempat peristirahatan Mai yang terakhir, hanya tinggal kedua orang tua dan keluarga Arie yang belum beranjak dari kuburan itu.
Tampak Ny. Irawan masih menangis sesenggukan di pusara anak semata wayangnya, dengan mata yang sembab juga Tn. Irawan memeluk dan menenangkan istrinya agar tabah.
Keluarga Arie juga tak dapat berkata apa-apa, dengan wajah tertunduk dan mata yang sembab Ny. Hardinata menghampiri Ny. Irawan dan mengajaknya beranjak dari tempat itu, dengan langkah gontai Ny. Irawan menuruti ajakan wanita itu, kemudian  Tn. Irawan dan Tn. Hardinata mengikuti mereka dari belakang, di ikuti oleh anak-anak Tn. Hardinata, kecuali Arie, pemuda itu masih berdiri mematung di dekat batu nisan Mai.
Arie duduk berjongkok di samping batu nisan itu dengan mata sembab karena dari semalam pemuda itu terus menangisi kepergian Mai, gadis yang sebenarnya diam-diam dia cintai.
******
“ kakak, maafkan aku....
Mungkin setelah kakak membaca surat ini aku sudah gak ada lagi di dunia ini....
Maafkan aku kak, aku pergi tanpa memberitahukan keadaanku yang sebenarnya, bahwa aku mengidap penyakit yang gak bisa disembuhkan lagi...
Mungkin kakak udah dengar dari mama atau papa, bahkan mungkin dari ayah dan ibu, tentang penyakit yang aku derita..
Benar kak, aku mengidap penyakit kanker darah, leukimia stadium akhir..
Aku mengidap penyakit ini udah sejak dua tahun yang lalu, sebelum kita bertemu di toko bunga itu, toko yang kakak kelola dan jalankan sendiri di sela-sela kesibukan kuliah kakak...
Awalnya...
Aku kagum dengan pribadi kakak yang dewasa dan mandiri...
Walaupun masih belum menyelesaikan pendidikan kakak, tapi kakak sudah memikirkan untuk membuka dan menjalankan usaha sendiri, tanpa tergantung kepada orang tua...
Tidak seperti aku, dari kecil sampai aku besar, selalu saja tergantung dan merepotkan orang tua..
Karena itu, selama ini aku menyembunyikan tentang penyakitku kepada kakak, karena aku gak mau kakak mengasihani aku...
Aku tidak ingin kakak mengenalku sebagai gadis yang penyakitan dan patut dikasihani yang hidupnya hanya tergantung pada obat, tapi aku ingin kakak mengenalku layaknya gadis-gadis yang lain, yang ceria, dan bersemangat..
Karena itu selama ini aku selalu bersikap ceria di depan kakak agar kakak tidak menyadari keadaanku yang sebenarnya...
Maafkan aku kak, selama ini aku yang kakak kenal bukanlah aku yang sebenarnya..
Aku tau kakak tidak akan memaafkan aku karena selama ini telah membohongi kakak, tapi ini aku lakukan karena aku ingin merasakan bagaimana indahnya menikmati hidup yang hanya tinggal beberapa waktu lagi, aku juga ingin kak merasakan indahnya jatuh cinta, hati berdebar-debar karena perasaan bahagia ketika bersama orang yang dicintai.
Hal itu juga yang aku rasakan ketika bersama kakak...
Kakak, sebenarnya selama ini aku mencintai kakak, sangat mencintai kakak lebih dari apapun yang ada di dunia ini, hatiku selalu berdebar-debar saat bersama kakak, tapi aku selalu memendam perasaanku ini, karena aku tau, hidupku tidak lama lagi dan aku tidak ingin membuat kakak bersedih jika kakak tau dan memiliki perasaan yang sama, karena itu aku memutuskan untuk memendamnya saja..
Kakak, satu permintaanku, tolong jangan bersikap dingin lagi terhadap gadis-gadis yang mendekati kakak, aku tau kak selama ini banyak gadis-gadis yang menyukai dan mendekati kakak, tapi kakak selalu bersikap dingin terhadap mereka, kakak selalu bersikap seperti itu karena aku kan?
Aku tau kak, kakak ingin menjadi kakak yang baik untukku yang anak tunggal ini dan kekurangan kasih sayang dari papa dan mama..
Aku tau kak, selama ini kakak hanya menganggapku sebagai seorang adik, karena itu selama ini aku berpura-pura bahwa aku juga menganggap kakak hanya sebagai seorang kakak, selain itu tidak ada yang bisa aku lakukan..
Kakak orang yang baik...
Karena itu aku mohon, bukalah hati kakak untuk gadis-gadis itu dan pilihlah salah satu dari mereka yang kakak yakin bisa mengerti akan diri kakak, aku yakin kak, kakak pasti bisa...
Dan tentang perasaan cintaku kepada kakak, biarlah cinta ini kubawa sampai ajal menjemputku, karena bagiku, hari-hari indah bersama kakak udah memenuhi semua keinginanku selama ini, bagiku itu udah amat sangat cukup.
Sekarang raihlah kebahagiaan kakak sendiri...
Aku akan selalu menjaga dan mendukung kakak...
Selamat tinggal kak, dan terima kasih atas segalanya.

                                                                        Adik yang amat sangat mencintaimu,
                                                                                                                  Mai

Isak tangis tertahan dan butiran bening mengalir deras di kedua pipinya, bibirnya bergetar dan badannya terguncang hebat menahan gejolak kesedihan yang dirasakannya.
“Mai, kenapa begini? Kenapa gak dari dulu kau bilang kalau kau juga mencintaiku, karena sebenarnya aku juga mencintaimu Mai, bukan sebagai seorang adik... aku mencintai mu sebagai gadis yang istimewa di hatiku, dan berharap suatu hari nanti kita bisa menikah.... aku berencana akan melamarmu setelah acara wisuda sarjana kita... tapi kenapa ini harus terjadi....”
            Arie terdiam sesaat setelah menumpahkan isi hatinya didalam isak tangisnya, dan melanjutkan kembali kata-katanya setelah perasaan hatinya tenang.
“ Mai, baiklah... aku mengerti, aku akan melakukan permintaanmu, tapi aku butuh waktu, dan aku yakin, kau pasti akan selalu melindungi dan mendukungku dari atas sana” lanjutnya sambil tersenyum dan memandang langit yang mendung.
            Disudut taman bunga mawar yang lain, berdiri seorang gadis yang cantik, berwajah putih, rambut hitam tergerai sepinggang, dan mengenakan gaun putih indah yang terbuat dari sutra sedang memperhatikan Arie sejak tadi, tentu saja tanpa disadari oleh Arie dan tidak akan pernah bisa disadari oleh manusia biasa mana pun, tidak terkecuali Arie, karena gadis itu adalah Roh dari gadis yang dicintainya, Mairinka.
            Ketika Arie memandang kelangit, gadis itu tersenyum dan berkata..
“kakak, terima kasih, ternyata kakak juga merasakan perasaan yang sama sepertiku, dan sekarang, aku bisa pergi dengan tenang...”
Setelah mengatakan itu, gadis itu menghilang seiring dengan derasnya air hujan yang tiba-tiba kembali turun mengguyur bumi.

************ END ************