Wednesday 13 March 2013

Kenangan Terakhir (part 2) End

Konnichiwa... Mina-san....
Gomen ne baru muncul lagi sekarang setelah sekian lama menghilang...
He... he...
Met ngebaca yah ^^


          Aku tidak tau berapa lama aku pingsan, ketika tersadar aku berada dikamar yang dindingnya berwarna putih bersih, ini bukan kamarku, karena dinding kamarku berwarna pink lembut dan bergambar motif bunga sakura, karena aku sangat menyukai bunga sakura, dan suatu saat aku berharap bisa melihat bunga itu secara langsung. Tapi harapan itu tidak mungkin terjadi dengan keadaanku sekarang. Ruang disekelilingku berwarna putih pucat dan ini membuat hatiku tidak nyaman, aku sangat ketakutan
“aduh... aku dimana?”ujarku pada diriku sendiri. Aku menyentuh hidungku, ternyata terpasang selang oksigen, aku menoleh kesampingku dan melihat cairan infus menetes sedikit demi sedikit kemudian mengalir ketubuhku melalui jarum infus yang terpasang di nadi tangan kiri ku, aku menoleh ke monitor yang ada disamping kepalaku, ternyata itu adalah monitor dan alat yang digunakan untuk mendeteksi denyut jantungku, ternyata aku dirumah sakit.
            Aku melihat pintu kamar dimana aku dirawat terbuka dengan perlahan, dan tidak lama kemudian seorang dokter berusia 40-an  dan berwajah tampan masuk keruang perawatanku, disusul seorang suster berwajah manis yang aku taksir berusia 25-an langsung mendekati dan memeriksa keadaanku begitu menyadari aku sudah sadar.
“Mai, gimana keadaanmu?” om Hendri mendekati dan menyapaku, sambil memeriksa keadaanku, om Hendri mengajakku berbicara dan mengajakku untuk bercerita banyak tentang semua hal yang aku lakukan belakangan ini, dengan tersenyum malu dan agak tersendat-sendat aku bercerita tentang semua yang aku lakukan belakangan ini, termasuk tentang kencanku hari ini bersama kak Arie. ‘Tapi ngomong-ngomong tentang kencan, dimana boneka pemberian kak Arie tadi ya... kenapa gak ada? Ah... mungkin kak Arie yang menyimpannya’. Aku berujar dalam hatiku. Om Hendri tersenyum mendengar ceritaku, aku jadi merasa tenang dan sesaat tidak memikirkan rasa sakit yang aku rasakan.
            Om Hendri adalah adik laki-laki mama, dan sekaligus menjadi dokter pribadi keluarga kami sejak mama melahirkan aku, karena diantara keluarga besar kami, hanya om Hendri yang menjadi dokter, selain itu juga sejak aku dilahirkan, kesehatanku sering terganggu, sehingga memerlukan pengawasan dan penanganan yang intensif dari seorang dokter.
“om, tolong panggilkan mama, ada yang mau Mai sampein sama mama, Mai udah gak kuat lagi om, kayanya waktu Mai udah gak banyak lagi om, Mai mau pamit......” ucapku karena aku merasa tubuhku kembali terasa sakit dan nafasku terasa agak berat.
“ok, tunggu sebentar ya.... om perlu ngomong pelan-pelan dulu sama orang tua Mai, biar mereka gak panik,” ujar om Hendri sambil tersenyum dan bergegas keluar ruangan.
            Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan diluar, ketika terdengar suara ribut-ribut dan dengan tergesa-gesa mama memasuki ruang perawatanku.
“Mai... gimana keadaanmu sayang?” dengan wajah panik mama menghampiri dan memelukku.
“Mama, Mai gak kenapa-kenapa kok ma, Mai cuma pusing dikit aja kok,” ucapku mencoba menenangkan mama, melihat keadaanku tangis mama langsung pecah.
“Mai... Mai harus kuat ya... mama janji, mama akan nyariin pengobatan yang bisa nyembuhin penyakit Mai... berapapun dan gimanapun caranya, mama akan usahain buat kesembuhan Mai, dan mama juga janji, mama akan bawa Mai liat bunga sakura secara langsung, tapi Mai harus kuat ya sayang...” sambil berkata seperti itu air mata mama malah menetes lebih deras lagi dari sebelumnya.
            Sungguh aku tidak sanggup melihat air mata dari mama ku tercinta ini, aku tau mama sangat ingin aku sembuh, tapi aku merasa waktuku sudah gak lama lagi.
“ma, tolong panggilkan papa, Mai mau pamit,” ucapku. Dan ucapanku ini cukup membuat mama tersentak.
“apa.... Mai, kamu gak boleh bilang kaya gitu sayang... Mai harus kuat dan harus sembuh... Mai jangan menyerah,” mama menyemangati aku agar aku jangan menyerah. Tapi aku harus bagaimana, aku merasa waktuku tidak lama lagi.
“Ma, Mai mohon....” pintaku dengan suara yang lemah.
“baiklah Mai, tunggu sebentar sayang ya, mama panggilkan papamu,” ucap mama sambil mengusap air mata yang tak henti-hentinya mengalir di kedua pipinya.
            Tidak lama kemudian, mama keluar untuk memanggil papa masuk karena aku ingin bertemu papa. Papa masuk di ikuti mama. Kedatangan mereka berdua kusambut dengan senyuman yang lemah dari bibirku.
“papa... mama.... maafin Mai ya, kalo selama Mai jadi anak papa dan mama, Mai selalu nyusahin, dan suka bandel, maafin Mai ma.... pa..... tolong, relakan Mai ma.... pa, doakan Mai semoga Mai diterima di alam sana, dan satu lagi pa.... ma, tolong anggap kak Arie sebagai pengganti Mai, anggap dia seperti Mai, dan sayangilah dia seperti papa dan mama menyayangi Mai, ya.....” pintaku dengan suara yang sangat lemah.
“sayang, sudah lah, jangan ngomong yang tidak-tidak, Mai pasti sembuh, yah....” ujar papa dengan menahan tangis, sedangkan mama sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, mama hanya menangis sambil memeluk dan menciumiku.
“pa, ma, jangan bohong, Mai udah tau, Mai gak bisa sembuh lagi, dan Mai juga tau kalo waktu Mai untuk hidup udah gak ada lagi, untuk itu tolong penuhi permintan terakhir Mai,” ucapku dengan nafas tersendat.
“oya ma, tolong berikan surat ini kepada kak Arie, tapi setelah pemakaman Mai selesai, yah?” aku menyerahkan sepucuk surat kepada mama yang udah dari kemarin aku persiapkan, dengan tangan gemetar mama menerima surat itu.
“iya sayang, nanti mama sampaikan,”ucap mama dengan berlinang air mata.
Aku tersenyum dan meminta mama untuk memanggil orangtua kak Arie, sebelum mereka keluar, dengan bergantian mereka memeluk dan menciumku dengan sayang, lalu bergegas keluar.
            Kedua orangtua kak Arie masuk dan menghampiriku yang sedang terbaring lemah di tempat tidur, aku menyambutnya dengan senyum lemah tetapi kupaksakan, keadaan itu membuat ibu menangis sedih.
“ayah, ibu, tolong maafkan Mai, jika selama ini Mai selalu mengganggu kehidupan keluarga ayah dan ibu,” hanya itu kata-kata yang bisa kuucapkan, karena tiba-tiba aku merasa sesak. Melihat itu ayah langsung berniat untuk memanggil dokter, tetapi langsung kucegah.
“ayah, Mai mohon, tolong jangan panggil dokter, Mai udah tau ini akan terjadi, ayah, ibu, Mai mohon, tolong maafkan semua kesalahan Mai,” dengan susah payah aku mengatur nafasku kembali agar mudah mengucapkan kata-kata terakhirku.
“Mai, seharusnya Mai jangan meminta maaf seperti itu, karena sejak dulu kami sudah memaafkanmu sayang, kami sudah menganggapmu seperti anak kami sendiri, malah kami yang seharusnya meminta maaf, karena tidak bisa ikut menjagamu dengan baik,” ujar ibu sambil mencium keningku.
“terima kasih, ayah, ibu, sekarang Mai udah merasa tenang,” ujarku sambil memaksakan untuk tersenyum manis.
“ibu, tolong panggilkan kakak yah? Mai juga ingin berpamitan dengan kakak” lanjutku kepada mereka berdua yang hanya di jawab anggukan oleh mereka berdua.
Aku melihat ada tetes bening air mata mengalir dari kedua pelupuk mata kedua orangtua kak Arie, sungguh sebenarnya hati ku sangat sedih dan tidak tega melihat orangtua kak Arie yang sangat aku sayangi menangis, tapi aku tidak dapat melakukan apa-apa selain memandangi mereka berdua berjalan menuju pintu keluar dengan senyum yang ku paksakan.
Terasa napas ku semakin sesak dan semakin sulit untuk bernapas, aku memejamkan mata ku untuk mengatur sedikit pernapasan ku hingga terasa agak lega, ketika saat itu terdengar oleh ku langkah kaki yang mendekati pembaringan ku.
“Mai, bagaimana keadaanmu?” suara itu, itu adalah suara kak Arie, laki-laki yang aku cintai.
Aku membuka kedua mata ku dan kudapati kak Arie menghampiri dan menggenggam tanganku, dengan berlinang air mata dia menatapku dengan pandangan yang bercampur aduk.
Dengan memaksakan diri aku mencoba untuk tersenyum.
“yah beginilah kak, rasanya sakit banget....”
Ujar ku dengan nada berat, karena napas ku terasa semakin berat.
“kakak kenapa nangis? Jelek tau gak...!” ujarku mencoba untuk menggoda kak Arie.
“Mai...  gak kok Mai, kakak gak nangis, tapi gak tau nih kenapa air mata kakak bisa keluar sendiri dan gak mau berhenti...” kak Arie mencoba untuk tersenyum, aku tau kak Arie bohong. Sungguh gak masuk akal, mana mungkin air mata bisa keluar sendiri kalo gak ada reaksi dari mata.
            Dengan senyum yang kupaksakan aku menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi kak Arie, kak Arie memegang dan menempelkan tanganku ke pipinya, melihat perlakuannya yang seperti itu, aku sungguh tidak tega.
“kak, maafkan aku, atas semua salah dan kelakuanku yang selama ini aku lakukan, baik yang ku sengaja ataupun tidak... maafkan aku kak.... selama ini aku selalu merepotkanmu.... uhuukk.... hah.. hah....” aduh.. aku mulai kehabisan napas...
“Mai, sudahlah...jangan bicara lagi... aku sudah memafkanmu...” ujar kak Arie dengan wajah panik karena aku terengah-engah sambil terbatuk-batuk kepayahan.
“kakak, aku udah gak ada waktu lagi, jadi tolong jangan hentikan aku untuk bilang kata-kata terakhirku....”ujarku dengan tegas meski tubuh ku terasa sangat kepayahan.
“Mai.....”
“kakak, aku mohon tolong kabulkan satu permintaan terakhir ku....” aku memotong ucapannya karena aku sudah tidak kuat lagi untuk menahan rasa sakit ini.
“Mai sudahlah.... jangan bicara kaya gitu, kamu pasti bisa sembuh.....” aku tau kak Heri berkata seperti itu hanya untuk menghiburku, tapi aku tau itu tidak mungkin lagi.
“kakak, aku mohon, tolong kabulkan...” pintaku dengan memelas.
Dia hanya bisa mengangguk karena tak kuasa menahan gejolak kesedihan di hatinya, itu sangat terlihat jelas dari wajah tampannya.
“apa... apa yang harus aku lakukan untuk mu Mai? Apapun akan aku lakukan untukmu...” dengan berurai air mata akhirnya dia menyanggupi permintaanku.
“kakak.... aku mohon, untuk pertama dan yang terakhirnya, aku ingin kakak mencium dan memelukku, aku mohon kak....”  ujarku dengan air mata yang tak dapat ku tahan lagi.
Perlahan kak Arie mendekatkan bibirnya ke bibirku, dan mengecup bibirku dengan lembut, terasa bibirnya bergetar, dan aku merasakan ada tetes bening yang menetes ke pipiku, ternyata itu adalah air mata kak Arie, setelah itu dia langsung memelukku, pelukan yang hangat dan menenteramkan hatiku.
Aku merasa sangat nyaman dan entah sejak kapan aku tidak merasakan sakit lagi, pelukan kak Arie sangat hangat dan menenangkan, aku jadi ingin tidur, aku merasakan kantuk yang sangat berat, dan lama kelamaan kesadaran ku semakin menghilang, tapi ada satu kata yang ingin ku ucapkan untuk kak Arie dan aku memaksakan diri untuk mengucapkannya.
“kakak, terima kasih....” hanya itu yang dapat aku katakan, karena seterusnya kurasakan sekelilingku menjadi gelap.... gelap.... gelap... dan gelap....
*******
Epilog...
Di batu nisan itu tertulis nama dengan ukiran yang sangat indah, Mairinka binti Hardi Irawan, wafat 6 Juni 2012, lahir 17 Oktober 1992.
Gundukan tanah itu masih terlihat basah, di atasnya terlihat taburan bunga mawar putih yang hampir memenuhi seluruh gundukan tanah itu, mawar putih adalah bunga favoritnya Mai. Gadis yang bersemayam di dalam gundukan tanah itu.
Satu persatu pelayat pergi meninggalkan tempat peristirahatan Mai yang terakhir, hanya tinggal kedua orang tua dan keluarga Arie yang belum beranjak dari kuburan itu.
Tampak Ny. Irawan masih menangis sesenggukan di pusara anak semata wayangnya, dengan mata yang sembab juga Tn. Irawan memeluk dan menenangkan istrinya agar tabah.
Keluarga Arie juga tak dapat berkata apa-apa, dengan wajah tertunduk dan mata yang sembab Ny. Hardinata menghampiri Ny. Irawan dan mengajaknya beranjak dari tempat itu, dengan langkah gontai Ny. Irawan menuruti ajakan wanita itu, kemudian  Tn. Irawan dan Tn. Hardinata mengikuti mereka dari belakang, di ikuti oleh anak-anak Tn. Hardinata, kecuali Arie, pemuda itu masih berdiri mematung di dekat batu nisan Mai.
Arie duduk berjongkok di samping batu nisan itu dengan mata sembab karena dari semalam pemuda itu terus menangisi kepergian Mai, gadis yang sebenarnya diam-diam dia cintai.
******
“ kakak, maafkan aku....
Mungkin setelah kakak membaca surat ini aku sudah gak ada lagi di dunia ini....
Maafkan aku kak, aku pergi tanpa memberitahukan keadaanku yang sebenarnya, bahwa aku mengidap penyakit yang gak bisa disembuhkan lagi...
Mungkin kakak udah dengar dari mama atau papa, bahkan mungkin dari ayah dan ibu, tentang penyakit yang aku derita..
Benar kak, aku mengidap penyakit kanker darah, leukimia stadium akhir..
Aku mengidap penyakit ini udah sejak dua tahun yang lalu, sebelum kita bertemu di toko bunga itu, toko yang kakak kelola dan jalankan sendiri di sela-sela kesibukan kuliah kakak...
Awalnya...
Aku kagum dengan pribadi kakak yang dewasa dan mandiri...
Walaupun masih belum menyelesaikan pendidikan kakak, tapi kakak sudah memikirkan untuk membuka dan menjalankan usaha sendiri, tanpa tergantung kepada orang tua...
Tidak seperti aku, dari kecil sampai aku besar, selalu saja tergantung dan merepotkan orang tua..
Karena itu, selama ini aku menyembunyikan tentang penyakitku kepada kakak, karena aku gak mau kakak mengasihani aku...
Aku tidak ingin kakak mengenalku sebagai gadis yang penyakitan dan patut dikasihani yang hidupnya hanya tergantung pada obat, tapi aku ingin kakak mengenalku layaknya gadis-gadis yang lain, yang ceria, dan bersemangat..
Karena itu selama ini aku selalu bersikap ceria di depan kakak agar kakak tidak menyadari keadaanku yang sebenarnya...
Maafkan aku kak, selama ini aku yang kakak kenal bukanlah aku yang sebenarnya..
Aku tau kakak tidak akan memaafkan aku karena selama ini telah membohongi kakak, tapi ini aku lakukan karena aku ingin merasakan bagaimana indahnya menikmati hidup yang hanya tinggal beberapa waktu lagi, aku juga ingin kak merasakan indahnya jatuh cinta, hati berdebar-debar karena perasaan bahagia ketika bersama orang yang dicintai.
Hal itu juga yang aku rasakan ketika bersama kakak...
Kakak, sebenarnya selama ini aku mencintai kakak, sangat mencintai kakak lebih dari apapun yang ada di dunia ini, hatiku selalu berdebar-debar saat bersama kakak, tapi aku selalu memendam perasaanku ini, karena aku tau, hidupku tidak lama lagi dan aku tidak ingin membuat kakak bersedih jika kakak tau dan memiliki perasaan yang sama, karena itu aku memutuskan untuk memendamnya saja..
Kakak, satu permintaanku, tolong jangan bersikap dingin lagi terhadap gadis-gadis yang mendekati kakak, aku tau kak selama ini banyak gadis-gadis yang menyukai dan mendekati kakak, tapi kakak selalu bersikap dingin terhadap mereka, kakak selalu bersikap seperti itu karena aku kan?
Aku tau kak, kakak ingin menjadi kakak yang baik untukku yang anak tunggal ini dan kekurangan kasih sayang dari papa dan mama..
Aku tau kak, selama ini kakak hanya menganggapku sebagai seorang adik, karena itu selama ini aku berpura-pura bahwa aku juga menganggap kakak hanya sebagai seorang kakak, selain itu tidak ada yang bisa aku lakukan..
Kakak orang yang baik...
Karena itu aku mohon, bukalah hati kakak untuk gadis-gadis itu dan pilihlah salah satu dari mereka yang kakak yakin bisa mengerti akan diri kakak, aku yakin kak, kakak pasti bisa...
Dan tentang perasaan cintaku kepada kakak, biarlah cinta ini kubawa sampai ajal menjemputku, karena bagiku, hari-hari indah bersama kakak udah memenuhi semua keinginanku selama ini, bagiku itu udah amat sangat cukup.
Sekarang raihlah kebahagiaan kakak sendiri...
Aku akan selalu menjaga dan mendukung kakak...
Selamat tinggal kak, dan terima kasih atas segalanya.

                                                                        Adik yang amat sangat mencintaimu,
                                                                                                                  Mai

Isak tangis tertahan dan butiran bening mengalir deras di kedua pipinya, bibirnya bergetar dan badannya terguncang hebat menahan gejolak kesedihan yang dirasakannya.
“Mai, kenapa begini? Kenapa gak dari dulu kau bilang kalau kau juga mencintaiku, karena sebenarnya aku juga mencintaimu Mai, bukan sebagai seorang adik... aku mencintai mu sebagai gadis yang istimewa di hatiku, dan berharap suatu hari nanti kita bisa menikah.... aku berencana akan melamarmu setelah acara wisuda sarjana kita... tapi kenapa ini harus terjadi....”
            Arie terdiam sesaat setelah menumpahkan isi hatinya didalam isak tangisnya, dan melanjutkan kembali kata-katanya setelah perasaan hatinya tenang.
“ Mai, baiklah... aku mengerti, aku akan melakukan permintaanmu, tapi aku butuh waktu, dan aku yakin, kau pasti akan selalu melindungi dan mendukungku dari atas sana” lanjutnya sambil tersenyum dan memandang langit yang mendung.
            Disudut taman bunga mawar yang lain, berdiri seorang gadis yang cantik, berwajah putih, rambut hitam tergerai sepinggang, dan mengenakan gaun putih indah yang terbuat dari sutra sedang memperhatikan Arie sejak tadi, tentu saja tanpa disadari oleh Arie dan tidak akan pernah bisa disadari oleh manusia biasa mana pun, tidak terkecuali Arie, karena gadis itu adalah Roh dari gadis yang dicintainya, Mairinka.
            Ketika Arie memandang kelangit, gadis itu tersenyum dan berkata..
“kakak, terima kasih, ternyata kakak juga merasakan perasaan yang sama sepertiku, dan sekarang, aku bisa pergi dengan tenang...”
Setelah mengatakan itu, gadis itu menghilang seiring dengan derasnya air hujan yang tiba-tiba kembali turun mengguyur bumi.

************ END ************

Monday 28 January 2013

Kenangan Terakhir (part 1)

konnichiwa mina-san...
ketemu lagi deh... he... he...
o iya, ini adalah hasil karya ku yang pertama.... cuma sekedar hobi sebenarnya, tp aku pingin ngeshare ke tmn2 smua...
smg bs ngehibur tmn2 smua...
selamat membaca...
mmm... krn aku msh amatir dlm dunia menulis, mohon saran yg membangun yah dr tmn2 smua...



Kenangan Terakhir
            Pagi yang mendung, daun dari bunga-bunga yang tumbuh liar dipekarangan halaman rumah masih basah oleh sisa hujan semalam.
            Terlihat seorang pemuda berwajah tampan, berbadan tinggi, dan berkulit putih bersih sedang duduk menyendiri di kebun bunga mawar yang berada di halaman belakang rumahnya, kebun itu memang tidak terlalu besar, tapi siapa pun yang memandang dan menikmati pemandangan yang indah dari kebun itu pasti terpesona  dan merasa tentram.
            Akan tetapi, tidak demikian yang dirasakan oleh Arie, pemuda itu terlihat murung dan wajahnya terlihat sangat sedih.
            Duduk di taman itu, mengingatkannya akan sosok Mairinka, adik dan sahabat yang sangat disayanginya, biasanya, setiap pagi Mai, begitu dia sering menyapanya, selalu datang kerumahnya untuk menyiram dan menyapa tanaman bunga mawarnya, karena Mai juga sangat menyukai bunga mawar, sama halnya dengan dirinya.
            Mai selalu berkata kepadanya jika Arie menanyakan kenapa Mai selalu melakukan hal yang aneh seperti itu.
“kakak, kalo tanaman gak disapa dan diajak ngobrol, tanamannya akan sedih dan gak mau tumbuh dengan indah, karena bunga itu nyangka kalo pemilik kebunnya gak sayang sama dia, bunga kan makhluk hidup juga kak, jadi kita harus nyampein perasaan sayang kita sama dia, sama kaya Mai sayang sama kakak, hehe........” jawabnya sambil tersenyum manja di kala itu.
‘hhhhhhhhhh............... Mai, semoga kamu tenang di alam sana sayang....” terdengar helaan nafas yang berat dari mulut pemuda itu. Dia memandang kelangit dan berharap wajah Mai, gadis yang dia sayangi ada di sana, tapi hasilnya nihil, yang terlihat oleh matanya hanyalah gumpalan awan hitam yang sebentar lagi mungkin akan turun hujan lagi.
“Mai, kenapa kamu harus pergi secepat ini, padahal masih banyak yang ingin aku lakukan bareng sama kamu, karena sejak kehadiran kamu dalam kehidupanku, hidupku jadi berwarna, gak membosankan lagi seperti dulu, kenapa kamu setega ini ninggalin aku, kamu senang ya ngeliat aku kesepian lagi?” batin pemuda itu sambil menundukkan wajahnya, terlihat setitik air bening mengalir dari sudut matanya. Dia terisak, hatinya perih....
            Kemarin adalah hari yang sangat menyakitkan baginya, dia harus melepas kepergian Mai, gadis yang sangat di sayanginya, dan kemarin adalah pemakamannya sekaligus juga pertemuan terakhirnya dengan Mai untuk selamanya, Mai pergi dalam usia yang masih muda, 20 tahun, gadis itu pergi setelah dia melewati masa-masa kritis atas penyakit Leukimia stadium akhir yang dideritanya.
            Padahal seingatnya, hari sebelum Mai pergi untuk selama-lamanya, Mai masih terlihat ceria dan manja, hal yang biasa dilakukan gadis itu jika mereka sedang bersama.
************
            Hhhhhmmm......... pagi yang indah dan menyegarkan..... hari minggu gini ngapain ya...
mmmm.... kerumah kak Arie aja deh, habis dirumah juga bosan sendirian, paling cuma ada bik Siti pembantu dirumah kami dan pak Urip tukang kebun dirumah kami, mereka bekerja dirumah ini udah sejak sebelum aku lahir, mereka sudah seperti keluarga kami sendiri, merekalah yang mengasuhku dan selalu menemaniku ketika kedua orang tuaku sibuk bekerja.
            Setelah sarapan dan meminum obatku, aku berganti pakaian dan berdandan seadanya karena sejujurnya aku tidak terlalu menyukai make up. Aku ke dapur untuk menemui dan meminta izin kepada bik Siti karena aku ingin menemui kak Arie. Biasanya kalo jam segini bik Siti sedang mencuci piring sebelum melanjutkan pekerjaannya membersihkan rumah.
“bik, Mai berangkat dulu ya... Mai mau kerumah kak Arie, hehehehe...” ujarku sambil tertawa manja seperti biasanya.
            Bik Siti menoleh ke arahku dan tersenyum,
“iya non, hati-hati ya...” ujarnya sambil mengeringkan tangannya, karena biasanya jika aku mau keluar rumah bik Siti selalu mengantarku sampai kepintu depan.
            Sambil berjalan kepintu depan, aku bergelayut manja dilengan bik Siti, seolah-olah seperti aku tidak akan bisa melakukan hal itu lagi. Aku tidak tau kenapa sampai aku merasa seperti itu. Sesampainya dipintu depan, aku menyalami dan memeluk bik Siti dengan erat, seolah-olah tidak ingin berpisah. Lagi-lagi aku merasa aneh kenapa aku melakukan hal itu. Gurat keheranan juga aku lihat diwajah bik Siti, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, wanita tua itu hanya membalas pelukanku dan melepaskanku sambil tersenyum.
            Di gerbang pintu keluar, aku mendapati pak Urip sedang memangkasi bunga-bunga  hias yang sudah tumbuh tinggi dan mengganggu pemandangan. Aku menyapanya untuk berpamitan dan menyalaminya.
“pak, Mai pamit ya mau kerumah kak Arie, biasalah pak, mau main, hehehehe....”ujarku sambil menyalami pak Urip, pak Urip menyambut uluran tangan dan menyalamiku, kulihat gurat keterkejutan diwajahnya atas apa yang aku lakukan, karena biasanya kalo cuma ingin main kerumah kak Arie aku tidak pernah sampai menyalaminya, tetapi laki-laki itu tidak berkata apa-apa. Lagi-lagi aku merasa aneh atas apa yang barusan aku lakukan, aku merasakan firasat yang aneh.
            Sebelum meninggalkan rumah, aku membalikkan badanku untuk mengamati keadaan rumah yang selama ini aku tempati sejak kedua orang tuaku menikah, aku merasa heran kenapa aku melakukan hal-hal yang aneh terus dari tadi, apa bakalan terjadi sesuatu ya....
Huuufffttt..... apa cuma perasaanku aja ya.... aku menepis pikiran burukku sendiri. Hari ini aku tidak boleh memikirkan hal-hal yang buruk, karena aku berencana untuk mengajak kak Arie berkencan.
************
            Namaku Mai, lengkapnya Mairinka Irawan, Hardi Irawan adalah papaku, sedangkan mamaku bernama Veranita Irawan, aku terlahir sebagai anak tunggal, karena kedua orang tuaku adalah pebisnis yang sukses sehingga mereka tidak berfikir untuk memiliki anak lagi.
Pernah ketika aku berumur setingkat kelas 6 SD, aku sangat menginginkan memiliki adik, karena aku sangat kesepian, aku menyatakan keinginanku kepada kedua orang tuaku, mendengar permintaanku mereka hanya tersenyum dan mengatakan bahwa dengan memilikiku saja mereka sudah sangat bahagia.
Awalnya aku kecewa dan merasa bahwa mereka tidak menyayangiku karena membiarkanku selalu kesepian, tapi belakangan aku baru mengetahui, ketika aku beranjak remaja, sepulang dari sekolah tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan kedua orang tuaku dengan Om Hendri, dokter keluarga kami diruang tamu, aku mendengar hal yang sangat mengejutkan, ternyata ketika mama melahirkan aku, rahim mama ikut diangkat juga karena ada tumor ganas dirahim mama, ternyata tumor itu sudah ada sejak mama mengandung aku.
Sejak itu aku tidak pernah menyinggung-nyinggung soal adik lagi, karena aku juga tau sebenarnya orang tuaku juga ingin memiliki anak lagi, sejak itu aku bertekat untuk selalu membuat mama dan papa bahagia dan bangga karena memiliki anak seperti aku.
Aku belajar dengan giat hingga selalu juara didalam setiap mata pelajaran disekolah, baik SMP maupun SMA, dan ketika memasuki perguruan tinggi, aku juga belajar dengan giat hingga dalam setiap mata kuliah aku selalu mendapatkan nilai yang sangat memuaskan, dan pada setiap semesternya aku mendapatkan IPK yang tinggi. Dan sekarang aku hampir merampungkan tugas akhirku untuk menyelesaikan pendidikanku. Tergolong masih muda sebenarnya karena saat ini umurku masih 20 tahun, itu karena ketika aku SMP dan SMA aku selalu loncat kelas.
************
            Tanpa terasa aku sudah sampai dirumah kak Arie, rumah yang berarsitektur sederhana namun terlihat indah dan nyaman jika dilihat dari luar seperti ini, baru ini aku memperhatikannya, padahal aku sudah sering main kemari, celetukku tanpa sadar.
            Aku memencet bel yang ada di bagian pintu sebelah kanan, pintu langsung dibukakan oleh pak Kusman, satpam yang menjaga keamanan dirumah itu, pak Kusman langsung mempersilahkan aku untuk masuk, tanpa menanyakan apa-apa karena keluarga ini juga sudah mengenalku dan orang tuaku dengan baik.
            Tanpa berlama-lama lagi aku langsung memasuki rumah itu dan menuju dapur, aku mendapati ibu kak Arie sedang sibuk membersihkan meja makan.
“pagi bu.....!?” Aku menyapa wanita setengah baya itu namun masih terlihat cantik  sedang membereskan sisa sarapan pagi di dapur, wanita itu adalah ibu kak Arie.
“ahhh.... Mai, ngagetin Ibu saja kamu,” balas Ibu sambil tersenyum.
“hehehehehehe..... maaf bu,” ucapku dengan nada menyesal, tapi sambil memberikan senyum manjaku.
“iya gak apa-apa kok Mai,” jawab Ibu sambil menghampiri dan memelukku dengan sayang.
“hari ini gak kekampus sayang?” lanjut Ibu sambil meneruskan pekerjaannya yang tertunda tadi dikarenakan kedatanganku.
“Ibu, kan hari ini hari minggu, mana ada kampus buka dan lagian Mai kan gak ada mata kuliah lagi Bu, cuma tinggal skripsi aja, pasti Ibu lupa lagi yach?” sungutku dengan manja.
“o iya, maaf Mai, Ibu lupa....”
“Mai sudah sarapan?”
“udah Bu tadi dirumah, Mama masakin bubur sama roti isi, hehehehehe......”
“oooo begitu, kesehatanmu gimana Mai?” lanjut Ibu sambil memandangi wajahku yang pagi ini sepertinya terlihat agak pucat.
“Mai baik-baik aja kok Bu, Ibu jangan khawatir,” ucapku meyakinkan wanita itu. Sebenarnya aku juga tidak merasa demikian, karena badanku terasa lemas.
“syukurlah kalo begitu,” ucap wanita itu dengan lega.
“oya Bu, kakak dimana?” lanjutku setelah kami terdiam beberapa saat.
“dia ada di belakang, di kebun bunga mawar, seperti biasa,” ucap wanita itu sambil menunjuk ke arah kebun di belakang rumah.
“oh iya Bu,” balasku sambil tersenyum, karena aku tau kebiasaan kak Arie bila tidak masuk kerja atau ke kampus, dia pasti di situ.
“kakak mu itu memang aneh, masa cowok seganteng dia di hari minggu kaya gini dirumah terus, pantasan saja gak ada cewek yang dekatin dia, seharusnya di hari minggu kaya gini dia kan pergi kencan dengan seorang cewek, ini malah dia asyik sendiri sama kebun dan mawarnya itu,” ucap wanita itu dengan nada kesal, tanpa menghiraukan keterkejutanku mendengar ucapan ibu.
“ooooo gitu, mungkin kakak belum mau untuk pacaran lagi Bu, kan Ibu tau sendiri gimana dulu pacar kakak ninggalin dia karena pacarnya menikah dengan laki-laki lain, mungkin kakak masih trauma Bu, atau mungkin ada gadis lain yang di sukai kakak, kan ibu tau sendiri, kakak itu pemalu orangnya, hehehehehehe.....,” lanjutku sambil tersenyum. Menyembunyikan perasaan kesalku atas perkataan ibu.
“ mungkin juga ya...,” jawab wanita itu membenarkan ucapanku.
“Bu, Mai ke tempat kakak yach....,”lanjutku sambil melangkah ke pintu belakang.
“ah iya, kakak mu ada disana,” balas wanita itu sambil tersenyum.
‘Apa.... jadi Ibu selama ini hanya menganggap aku sebagai anak dan adik bagi kakak? Bukan sebagai calon menantunya? Apa yang harus aku lakukan?’ Rutukku di dalam hati.
Tanpa sadar aku sudah berdiri disamping kak Arie yang sedang menyirami tanaman bunga mawarnya, tapi sepertinya kak Arie tidak menyadari kehadiranku karena terlalu asyik dan lagipula aku sengaja tidak mengeluarkan suara sedikitpun karena pikirinku sedang galau memikirkan perkataan yang di ucapkan Ibu tadi.
“ya ampun Mai......! kenapa bisa tiba-tiba muncul di sini sih.... ngagetin kakak aja...., kalo udah nyampe bukannya nyapa, eh malah berdiri bengong gitu disamping kakak,” ucap kak Arie sambil mengurut dadanya karena terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba disadarinya ketika dia menoleh kesamping tadi.
Tapi aku hanya diam saja, dan sepertinya ini membuat kak Arie heran dan khawatir, karena ini hal yang memang tidak biasa aku lakukan.
“Mai, ada masalah ya? Apa Mai kurang sehat?” ujarnya sambil memperhatikan wajahku.
“ah enggak kok kak, Mai gak kenapa-napa kok,” ucapku setelah tersadar beberapa saat.
“oya kak, hari ini kakak sibuk gak?” lanjutku, tanpa mengindahkan pertanyaan kak Arie.
“ya kaya biasa Mai, mungkin habis ini mau buka toko, tapi kok rasanya hari ini malas ya,”ucapnya sambil mengamati tanaman bunga mawarnya yang sedang mekar.
Itu adalah pekerjaan sampingan kak Arie, menjual bunga di toko miliknya sendiri yang di bangun dari uang tabungannya sendiri.
“kenapa memangnya Mai?” lanjutnya.
“kak, gimana kalo hari ini kita kencan, Mai bosan kak dirumah terus, Mai pingin jalan-jalan, temanin Mai ya kak? Mau kan?” pintaku dengan wajah memelas.
“kencan? Hhhhmmmmm..... boleh juga, tapi kok tiba-tiba kaya gini Mai? Lagian kapan kita jadian? Hehehehehe...” ucap kak Arie sambil tersenyum menggodaku yang saat itu langsung memanyunkan bibirku ketika mendengar ucapan kak Arie.
“yaaaaaahhhhhh........... kakak......... hari ini aja deh Mai jadi pacar kakak, yah.... setelah itu Mai jadi adek dan sahabat kakak terus deh,  please........ mau yah kak?” ucapku sambil memeluk lengan kak Arie yang putih dan kekar itu dengan manja, hal yang biasa kulakukan jika aku menginginkan sesuatu yang sangat kuinginkan.
“hhhhhhmmmmm..... oke kalo gitu, kakak mandi dulu ya,” akhirnya kak Arie menyetujui permintaanku walaupun dengan wajah heran.
            Kami  masuk kerumah dan kak Arie kekamarnya untuk mengambil handuknya lalu bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan  badannya.
Sambil menunggu kak Arie selasai mandi, aku kedapur untuk menemui Ibu, tapi tidak ada siapa pun didapur, berarti wanita itu sudah pergi ke pasar untuk membeli sayuran.
            Dengan sedikit kecewa aku kembali keruang tamu dan menyalakan televisi, tapi tidak ada acara yang menarik perhatiaku, bosan dengan televisi, aku mengambil majalah fashion yang tergeletak di meja ruang tamu.
‘hhhhhmmmmm..... ini pasti punya kak Vera, hehehehehe.....’ujarku sambil mulai membuka lembar demi lembar halaman majalah itu.
            Vera adalah kakak kandung kak Arie yang ketiga, kak Vera sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, mereka tinggal di daerah kota Lhokseumawe , sedangkan keluargaku dan kak Arie tinggal di daerah Batuphat, tepatnya di Komplek Perumahan PT.Arun, tetapi setiap akhir pekan kak Vera selalu mengunjungi orang tuanya, sesekali kak Vera sering membawakan majalah, baik itu fashion, entertainment atau sering juga membawa buku, baik buku yang bisa menambah wawasan atau pun yang hanya sekedar bacaan ringan seperti komik dan novelet remaja.
            Sedang asyik membolak-balik lembaran majalah, aku menemukan lembar yang memberikan tips untuk berdandan yang praktis namun tetap terlihat cantik di hari kencan.
‘nah ini dia, coba ah,’ ujarku sambil membawa majalah itu kekamar kak Vera yang sekarang menjadi kamar Rani, adik tiri kak Arie.
            Rani adalah anak kandung dari Ibunya kak Arie yang sekarang, setelah ibu kandung kak Arie dan kak Vera meninggal pada saat melahirkan kak Arie, ayah kak Arie menikah lagi, dan Rani adalah hasil dari perkawinan ayah dan ibu tirinya. Tapi walaupun adik tiri, baik kak Vera maupun kak Arie sangat menyayangi Rani seperti adik kandung mereka sendiri.
            Sebenarnya kak Arie masih memiliki tiga orang saudara lagi, dua orang kakak kandung dan seorang adik tiri. Yang sulung adalah seorang kakak perempuan dan yang seorang lagi adalah seorang kakak laki-laki yang juga sudah menikah dan tinggal di kota lain. Sedangkan adik tiri kak Arie yang seorang lagi adalah seorang anak laki-laki yang saat ini masih duduk di kelas empat sekolah dasar.
            Walaupun demikian, kak Arie sangat menyayangi kakak-kakak dan adik-adiknya, tanpa membedakan mereka itu saudara tiri ataupun saudara kandung.
            Demikian juga aku, karena aku adalah anak tunggal, aku tidak memiliki saudara, aku sangat menyayangi keluarga kak Arie, aku sudah menganggap mereka semua seperti saudara kandungku sendiri. Tapi tidak demikian perasaanku terhadap kak Arie, sebenarnya aku sangat mencintai kak Arie, bukan sebagai seorang kakak, tetapi sebagai seorang laki-laki, tapi tentu saja kak Arie gak pernah tau perasaan aku ini, karena aku gak pernah nunjukin perasan aku yang sebenarnya sama dia, aku takut kak Arie akan marah dan membenciku jika dia tau perasaanku yang sebenarnya.
            Aku menghampiri cermin dan mulai mematut diri, memakaikan make-up tipis diwajah dan mengoleskan lip ice berwarna pink lembut kebibir. Aku tersenyum dengan hasil riasanku sendiri.
‘ternyata aku bisa juga, hehehehehe......’ ucapku puas sambil menatap hasil riasanku di cermin.
‘hhhhhmmmmm..... tapi kok kayanya ada yang kurang ya... apa ya...?’
‘O iya, rambut....’ujarku kemudian.
            Aku melihat ada jepitan rambut berwarna putih di laci meja rias, itu adalah milikku, jepit rambut favoritku yang selama ini kukira telah hilang, ternyata malah tertinggal di kamar Rani.
‘hhhhhmmmm..... ternyata malah ketinggalan disini, ini pasti ketinggalan waktu aku pernah nginap disini, kirain udah hilang,’ ujarku sambil menjepitkan jepitan rambut ini ke rambut hitamku.
            Keluarga kak Arie telah mengenal aku dan keluargaku dengan baik, oleh karena itu, mereka tidak keberatan jika aku keluar masuk rumah mereka dan sering menginap bersama mereka, karena mereka tau, aku anak tunggal dan kedua orang tuaku selalu sangat sibuk, mereka sangat jarang dirumah, kalau dirumah aku hanya ditemani bik Siti dan pak Urip, karena itu aku sering datang menemui keluarga kak Arie, selain itu, kami juga tinggal di komplek perumahan yang sama, hanya berbeda lorongnya saja, dan jaraknya pun tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Sebenarnya aku dan kak Arie seumuran, kami berdua sama-sama lahir di tahun 1992, yang membedakannya hanya pada saat bulan dan tanggal kelahirannya saja, kami berbeda 10 bulan, kak Arie lahir pada bulan Januari dan aku lahir pada bulan Oktober, selain itu juga dari segi fisik kak Arie jauh lebih tinggi dari pada aku dan juga dari segi sifat kak Arie lebih bisa bersikap dewasa dibandingkan aku yang lebih suka bersifat kekanakan dan manja, karena itu aku lebih suka memanggilnya kakak daripada memanggil namanya. Mengenai namaku, aku sendiri heran, kenapa orang tuaku memberikan aku nama Mairinka, sedangkan aku lahir bukan di bulan Mai, tapi ya sudahlah, mungkin ada makna tertentu dibalik namaku ini.
Aku menghampiri kak Arie yang sedang duduk menopang dagu sambil menonton tayangan FTV di salah satu saluran TV swasta, saking asyiknya sampai-sampai kak Arie tidak menyadari kehadiranku yang sudah berdiri disampingnya.
“kakak, lama nunggu ya?”
“ah Mai, selalu aja ngagetin....” ujarnya sambil menoleh ke arahku.
Pada saat itu aku melihat kak Arie sepertinya agak terkejut atau terpana ya melihat penampilanku yang seperti ini, karena jujur sih, sebelumnya aku tidak pernah berpenampilan seperti ini,  padahal aku menyangka ini sudah sangat tidak terlihat mencolok dan aneh, tapi apa memang aneh ya dimata kak Arie?
“kakak, kok bengong? Jadi pergi kan kita?” ujarku menyadarkan kak Arie dari kebengongannya.
“eh iya, jadi kok, udah siap kan? Ayo....”
 “kakak kenapa gugup kaya gitu? Gak suka ya sama penampilan Mai?”
“eh enggak kok Mai, cantik kok, kakak suka,”
“hhhhmmmmm..... syukur dech kalo gitu,”ujarku sambil tersenyum.
“oya, kakak telfon Ibu dulu ya Mai, ngasih tau kalo kita pergi keluar, kan rumah kosong jadi harus di kunci, jadi ibu bisa tau nanti kuncinya kita titip sama tante Nana,” ucapnya sambil mengeluarkan telfon genggamnya dari saku celananya.
“halo, Ibu, kami pergi keluar ya... mungkin sore baru pulang..... iya bu, aku pergi sama Mai.... iya, kunci rumah sama tante Nana.... oke....” kak Arie menutup telfonnya dan menggandeng tanganku keluar rumah, mengunci pintu dan menitipkan kunci kepada tante Nana, orang yang sudah puluhan tahun menjadi tetangga keluarga mereka sejak kak Arie belum dilahirkan.
            Kak Arie membuka garasi mobil dan mengeluarkan sebuah mobil berjenis toyota Avanza berwarna putih, kak Arie membukakan pintu mobil untukku dan mempersilahkanku untuk masuk, aku mengangguk dan tersenyum dengan perlakuan kak Arie seperti itu layaknya seorang pangeran mempersilahkan putri menaiki kereta kencananya, aku masuk ke mobil dan memasang sabuk pengamanku.
“oke, kita kemana Mai?” ujarnya kepadaku sambil tersenyum dan memfokuskan diri pada kemudi mobil.
“mmmmmmm...... gimana kalo kita ke pantai Ujong Blang?” aku menyebutkan nama tempat yang selama ini sangat ingin aku datangi.
“hahh? Pantai Ujong Blang? Bukannya udah sering kesana Mai?” sepertinya kak Arie heran dengan tempat yang aku ajukan.
“sering apaan, Mai gak pernah kak kesana, kan kakak tau sendiri, papa dan mama gak sering dirumah, mau pergi sama teman pun Mai gak punya teman dekat, makanya selagi bersama kakak, mau kan temanin Mai kesana?”
“yaaaaaaa.......... apa boleh buat kalo begitu, hehehehehehe......” kak Arie tersenyum mendengar kata-kataku yang terdengar manja dan kekanakan.
Selama perjalanan ke Pantai Ujong Blang, kami saling menggoda, dan sesekali kami tertawa bahagia. Karena lalu-lintas antara daerah Batuphat dan Pantai Ujong Blang tidak terlalu padat, maka tanpa terasa kami telah sampai di Pantai Ujong Blang yang indah dan nyaman.
Kak Arie mengarahkan mobil ke parkiran yang telah disediakan oleh pihak pengelola pantai, kemudian mobil diparkirkan sesuai arahan petugas parkir. Setelah mesin mobil dimatikan, kami keluar dari mobil dan langsung menuju tepi pantai yang sudah sejak tadi menggodaku untuk segera berlari mendekati tepi pantai.
Aku menghirup udara pantai yang sejuk dan segar, karena pagi itu sedikit mendung jadi tidak terasa panas walaupun berlama-lama berdiri di tepi pantai itu, sedang asyik-asyiknya menghirup udara pantai, tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan badanku terasa lemas, nafasku juga terasa sesak, aku hampir saja jatuh tertelentang jika kak Arie tidak segera menangkap dan memelukku dengan erat. Aku memejamkan mataku untuk mengatasi rasa pusing yang kurasakan.
 “Mai, kamu kenapa Mai?.” Aku mendengar suara kak Arie yang panik dan cemas dengan keadaanku yang tiba-tiba berubah drastis. Aku membuka mataku dan memandang wajah kak Arie yang terlihat sangat panik.
“ng.... Mai gak kenapa-kenapa kok kak!,” ucapku sambil berusaha tersenyum.
“bener gak kenapa-kenapa?, kalo gak kita pulang aja ya?,” ujarnya sambil menuntunku ke arah parkiran mobil.
“jangan kak, Mai mohon, sekali ini aja, Mai gak kenapa-kenapa kok kak, Mai baik-baik aja, kakak gak usah khawatir”, ujarku menghentikan langkahku dan sekaligus langkah kaki kak Arie untuk menuju ke parkiran mobil.
“tapi Mai.....”
“kakak, Mai mohon....”
“oke, tapi kalo Mai ngerasa capek kita istirahat ya, dan kalo Mai gak sanggup lagi kita pulang ya...” kak Arie memberikan syarat terhadapku yang kurasakan sendiri sangat keras kepala.
“iya, Mai tau kok kak,” ujarku berusaha tersenyum manis dan menguatkan diriku.
“ayo...” kak Arie menggamit tangan dan menggandengku, aku tersenyum bahagia, walaupun sebenarnya aku sedang menahan rasa sakit yang amat sangat di seluruh tubuhku.
‘ya Allah.... aku mohon, berikanlah waktu untuk ku, sedikit  saja juga boleh, aku ingin sebelum aku pergi, aku bisa menikmati hari-hari terakhirku ini dengan bahagia bersama orang yang sangat aku sayangi dan aku cintai, setidaknya aku memiliki kenangan indah yang aku bawa ketika aku menghadap kepada-Mu ya Allah....’ rintihku didalam hati, karena aku tidak ingin kak Arie tau akan keadaan dan rasa sakit yang kuderita.
            Benar, kak Arie memang tidak pernah tau akan penyakit yang aku derita, karena aku tidak pernah memberitahukannya, dan aku juga melarang papa-mama dan juga orang tua kak Arie untuk memberitahukan keadaanku kepada kak Arie dan saudara yang lain, karena aku ingin kak Arie mengenalku sebagai gadis yang sehat dan ceria seperti gadis-gadis yang lainnya, bukan gadis yang lemah dan penyakitan yang selalu bergantung kepada obat-obatan yang diberikan oleh dokter.
“Mai, kita ke batu karang itu yuk?” ajak kak Arie sambil menunjuk ke batu karang yang berdiri kokoh di bibir pantai.
“oke,”ujarku sambil mengangguk dan tersenyum.
            Kami berjalan menghampiri batu karang yang ditunjuk oleh kak Arie tadi yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Sesampai di batu karang kak Arie langsung melompat ke atas batu tersebut dan membantuku untuk menaiki batu karang tersebut. Kami duduk berdampingan dengan menjuntaikan kaki ke laut yang kebetulan letak berdirinya batu karang tidak terlalu tinggi dengan air laut sehingga air laut dapat mengenai kaki kami.
            Suasana pantai yang tenang, karena kebetulan pengunjung yang berkunjung ke pantai ini masih sepi, angin pantai yang sejuk membuatku terlena akan suasana yang romantis seperti ini, hatiku sangat bahagia dan sangat nyaman berada didekat kak Arie, tanpa sadar aku menyandarkan kepalaku ke bahu kak Arie, kak Arie hanya diam saja dan ini membuatku semakin merasa nyaman dan sesaat aku lupa akan rasa sakit yang aku rasakan tadi.
            Seharian kami menghabiskan waktu di pantai ini, karena aku sangat menyukai suasana pantai seperti ini, puas duduk bersantai dan bermain air di pantai ini, kami memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan mencari tempat makanan untuk makan siang, setelah kami menemukan tempat untuk makan, kami  menyantap makan siang kami dengan lahap. Setelah kami menghabiskan makan siang kami, kak Arie mengajakku untuk berjalan-jalan dan mengelilingi kota Lhokseumawe yang selalu ramai, sesekali kami singgah ke sebuah toko untuk sekedar melihat-lihat.
            Ketika kami melewati sebuah toko boneka, aku tertegun menatap sebuah boneka Micky Mouse yang sangat lucu yang di pajang di etalase, melihat itu sepertinya kak Arie mengerti akan keinginanku dan tersenyum, kak Arie mengajakku untuk memasuki toko itu.
            Kak Arie menghampiri penjaga toko sambil menunjuk ke arahku dan berkata ingin membeli boneka yang saat ini berada dalam pelukanku. Kulihat penjaga toko itu tersenyum dan mengangguk.
            Kak Arie menghampiri dan menyentuh bahuku. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum sambil tanganku bergerak hendak meletakkan boneka itu ke tempatnya semula, namun kata-kata kak Arie selanjutnya mengurungkan niatku untuk meletakkan boneka itu.
“Mai, kamu bisa bawa pulang boneka itu kok” kata kak Arie ketika melihatku akan meletakkan kembali boneka itu ditempatnya semula.
“hahh? yang bener kak?” ujarku tidak percaya.
“yaaaaa.... terserah kalo gak percaya,” sahutnya sambil tersenyum dan melangkahkan kakinya keluar toko itu. Ih ini kakak kadang nyebelin juga, tapi tanganku kembali meraih boneka yang tadi sempat udah duduk manis di tempatnya, sambil memeluk boneka tersebut aku melangkah ke pintu keluar untuk menyusul kak Arie.
Aku masih bingung, di pintu keluar aku berpapasan dengan penjaga toko yang dari tadi melayani kami, penjaga toko itu mengangguk dan tersenyum kepadaku karena sepertinya penjaga toko itu melihat keraguan di wajahku. Melihat anggukan itu, aku tersenyum dan menyusul kak Arie yang telah menunggu di luar setelah sebelumnya aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada penjaga toko tersebut.
“kak, makasih ya....” ujarku sambil tersenyum kepada kak Arie sambil menunjukkan boneka yang aku peluk.
“iya sama-sama Mai,” ujar kak Arie sambil membalas senyumanku dan menjawil hidungku, hal yang biasa kak Arie lakukan jika dia sedang gemas kepadaku.
Kami berdua masuk kemobil dan kak Arie mengarahkan mobilnya ke daerah Batuphat, arah jalan pulang ke rumah kami, awalnya sebelum pulang kami berencana untuk mampir kerumah sahabat kak Arie sejak SMA di daerah Cunda, tapi karena sudah sore maka kami memutuskan untuk segera pulang.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang karena aku tidak begitu suka dengan laju kendaraan yang terlalu kencang. Tiba-tiba kembali kepalaku terasa pusing, badanku lemas, dan nafasku kembali terasa sangat sesak, aku memejamkan kembali mataku seperti tadi pagi berharap rasa sakit ini akan segera hilang, tetapi tidak berhasil, malah semakin terasa sangat menyakitkan.
“ayo kita pulang, ini sudah waktunya jam makan malam kan, Mai makan malam dirumah kakak aja, tadi ibu telfon, katanya ibu udah nyiapin masakan kesukaan Mai,  tenang aja, nanti habis makan malam kakak antarin Mai pulang, yah...”. samar-samar aku mendengar ucapan kak Arie, tapi aku tidak sanggup mengeluarkan suara untuk menjawab perkataan kak Arie karena tubuhku terasa sudah sangat lemah.
“Mai?”aku mendengar panggilan kak Arie lagi, dan aku melihat dia menoleh ke arahku.
“astaga... Mai.... Mai.... kamu kenapa?” kak Arie berteriak panik melihat keadaanku yang lemah dan berkeringat di sekujur tubuhku. Kak Arie menepikan mobilnya dan segera memeriksa keadaanku.
“Mai, kamu kenapa?” ujarnya dengan nada panik.
“kakak..... aku..... uhuk.... uhuk..... hahh...hahh....” dengan nafas berat aku mencoba untuk menjawab pertanyaan kak Arie tapi karena nafasku terasa sangat berat dan membuatku serasa kehabisan nafas.
“Dokter.... iya.... ke rumah sakit, kakak harus membawa mu ke rumah sakit Mai,”kak Arie berujar sambil kembali ke belakang kemudi mobil dan aku merasakan mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi.
            Selama dalam perjalanan kerumah sakit, aku merasakan tubuhku semakin lemah dan kesadaranku pun semakin hilang, aku merasakan sekelilingku berubah menjadi hitam....gelap.....dan setelah itu aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi...

to be continued...